The End of the Line: Mengakhiri Istilah ATL vs BTL
oleh : Amalia E. Maulana
dimuat di Bisnis Indonesia Minggu, April 2008
Ada yang menggelitik pada saat saya membaca salah satu tugas MarComm Manager dalam sebuah iklan lowongan kerja belum lama ini :“Responsible for strategy on ATL, TTL and BTL campaigns….”. Istilah
komunikasi ATL (Above the Line) dan BTL (Below the Line), keduanya
sudah umum digunakan di dunia pemasaran dan periklanan. Tetapi TTL
(Through the Line)? Ini jelas istilah baru.
Sebenarnya istilah LINE (yang berarti garis) dalam ATL dan BTL
itu berawal dari kategorisasi dalam neraca keuangan. Kategori pertama
berlaku bagi kegiatan pemasaran yang kena komisi biro iklan. Ini
dimasukkan dalam ‘cost of sales’ dan dikurangi sebelum ditentukan gross
profit. Kategori kedua untuk kegiatan pemasaran non iklan yang tidak
kena komisi. Biayanya dimasukkan dalam biaya operasional dan dikurangi
sebelum ditentukan net profit.
Kedua jenis budget tersebut dipisahkan dengan sebuah garis (LINE). Yang
mengandung unsur komisi, ditulis di bagian atas neraca, disebut sebagai
Above the line (ATL). Sisanya, dijadikan satu di bawah garis tadi,
disebut kelompok Below the line (BTL). Sudah banyak yang melupakan definisi awal komunikasi ATL vs BTL tersebut.
Dalam banyak tulisan, ATL dan BTL dijelaskan perbedaannya sebagi berikut:
Above the line (ATL)
|
Below the line (BTL)
|
Target audiens luas
|
Target audiens terbatas
|
Lebih untuk menjelaskan sebuah konsep atau ide. Tidak ada interaksi langsung dengan audiens.
|
Media
atau kegiatannya memberikan audiens kesempatan untuk merasakan,
menyentuh atau berinteraksi, bahkan langsung action membeli.
|
TV, Radio, Majalah, koran, billboard
|
Event, Sponsorship, Sampling, Point-of-Sale (POS) materials, Consumer promotion, Trade promotion, dll
|
Saat
ini, dimana landscape media sudah bergeser secara dramatis dengan
munculnya media-media baru, terutama yang berbasis teknologi tinggi
(Internet dan mobile phone), beda ATL vs BTL semakin kabur. Persoalannya,
karakteristik media baru tidak eksklusif lagi. Internet media, karena
fiturnya yang sangat kaya (disebut dengan rich media), bisa mencakup
target audiens yang luas sekaligus spesifik; mempunyai fasilitas interaksi secara langsung.
Situasi
dalam pemasaran modern ini yang mengharuskan Strategic Brand Planner
berfikir integrasi dalam disain pesan dan alokasi medianya. Integrasi
kegiatan komunikasi secara simultan ini dikenal dengan sebutan ’Integrated Marketing Communication’ (IMC).
Istilah TTL (Through the Line)
Jika kita perhatikan di sekitar kita,
memang banyak kegiatan yang tidak bisa dikatakan eksklusif lagi. Ada
kegiatan ATL yang mengandung unsur BTL. Atau sebaliknya, BTL yang
mengandung unsur ATL. Contoh ATL dengan BTL adalah iklan sebuah brand di
majalah yang sekaligus ditempeli sample produknya. Sedangkan contoh BTL
dengan ATL: kegiatan event di outlet tertentu yang disebarluaskan lewat
iklan radio dan sms.
Wilayah abu-abu atau ‘grey area’ itulah yang mendorong timbulnya istilah baru, yaitu ’Through the Line’ atau TTL. Istilah ini secara harafiah berarti ‘cakupan dari ujung satu ke ujung lainnya’. Istilah
TTL diperkenalkan untuk menjembatani pihak perusahaan jasa komunikasi
periklanan yang ingin membuat gambaran kongkrit terhadap segmen jasa
kreatif komunikasi yang ditawarkannya.
‘Awareness + Image building’ vs ‘Brand Activation’
Kerancuan dalam penggunaan istilah ATL dan BTL perlu dijadikan bahan pemikiran ulang. Apakah masih relevan cara kita mendefinisikan kegiatan komunikasi pemasaran dengan pembagian ATL/BTL? Jika kita
mengacu pada situasi historis pada saat istilah ATL dan BTL muncul, itu
adalah sebuah usaha klasifikasi yang relevan pada saat tersebut. Biro
iklan pada saat itu terfokus pada kegiatan-kegiatan ATL, sehingga dalam
klasifikasi budget unsur komisi jelas masuk dalam ATL saja. Saat ini,
sudah terjadi pergeseran yang cukup signifikan dalam percaturan di dunia
jasa periklanan/komunikasi. Muncul banyak agensi baru yang memposisikan
diri sebagai IMC Agency.
Dalam konteks ini, seringkali tidak berlaku lagi komisi. Mereka
bahkan menawarkan jasa sebagai strategic partner perusahaan yang
komitmennya direalisasikan dalam bentuk fixed retainer cost (biaya jasa
tetap tiap bulannya).
Dengan situasi baru seperti sekarang ini, dimana jasa yang ditawarkan
oleh biro iklan dan biro pendukung kegiatan komunikasi non-iklan sudah
sangat terfragmentasi, penggunaan istilah komunikasi ATL vs BTL menjadi
tidak relevan lagi, dan sudah waktunya ditinggalkan. Adapun istilah
baru, TTL, menurut saya tidak akan menjadi solusi untuk memperjelas
perbedaan konsep dan prinsip dalam kegiatan komunikasi pemasaran. Mungkin ada baiknya mulai sekarang kita lupakan saja istilah LINE. Forget the line! It is the end of the line.
Sebagai gantinya, sebaiknya kegiatan komunikasi pemasaran dibagi dari segi tujuan komunikasi itu sendiri.
Dalam
proses brand building, ada dua tahap penting yang cukup signifikan
bedanya yaitu (1) tahap ”Awareness+ Image building” dan (2) tahap
“Interest, Trial dan Loyalty building” (yang popular dengan istilah
Brand Activation).
Perspektif Strategic Brand Planner dalam menyusun Integrated Marketing Communications (IMC), sebaiknya lebih didasari oleh tujuan komunikasi brand.
Maka, akan lebih bermakna bila kita
mulai menyiapkan sebuah format baru dalam template budgeting pemasaran.
Tidak lagi membagi budget komunikasi dengan kategori budget ATL dan
BTL, tetapi membagi budget dengan kategori baru yaitu (1) Budget untuk “Awareness+Image building”, dan (2) Budget untuk “Brand Activation”.
Sekali lagi, Forget about the LINE!.
Salam,
Si Pemimpi